Perjudian, sama halnya dengan pelacuran, telah ada dimuka bumi sama dengan peradaban manusia. Dalam cerita Mahabarata dapat diketahui bahwa Pandawa menjadi kehilangan kerajaan dan dibuang ke hutan selama 13 tahun karena kalah dalam permainan judi melawan Kurawa. Di dunia barat perilaku berjudi sudah dikenal sejak jaman Yunani kuno. Keanekaragaman permainan judi dan tekniknya yang sangat mudah membuat perjudian dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru dunia.
Banyak negara yang melarang perjudian sampai taraf tertentu, Karena perjudian mempunyai konsekwensi sosial yang kurang baik, dan mengatur batas yurisdiksi paling sah tentang undang-undang berjudi sampai taraf tertentu.
Judi dalam bentuk lotre sudah ada sejak tahun 1960-an yang zaman itu lebih dikenal dengan nama lotre buntut. Pada masa itu, di Bandung ada lotre yang disebut Toto Raga sebagai upaya pengumpulan dana mengikuti pacuan kuda. Sedangkan di Jakarta semasa Gubernur Ali Sadikin muncul undian lotre yang diberi nama Toto dan Nalo (Nasional Lotre).
Tahun 1965, Presiden Soekarno mengeluarkan Keppres No 113 Tahun 1965 yang menyatakan lotre buntut merusak moral bangsa dan masuk dalam kategori subversi. Memasuki Orde Baru, lotre ini terus berkembang. Tahun 1968, Pemda Surabaya mengeluarkan Lotto (Lotre Totalisator) PON Surya yang tidak ada kaitannya dengan penyelenggaraan olahraga, hanya berdasarkan undian. Tujuannya menghimpun dana bagi PON VII yang akan diselenggarakan di Surabaya tahun 1969.
Pada tahun 1974, Toto KONI dihapus. Pemerintah melalui Menteri Sosial Mintaredja (saat itu) mulai memikirkan sebuah gagasan untuk menyelenggarakan forecast sebagai bentuk undian tanpa menimbulkan ekses judi. Setelah studi banding selama dua tahun, Depsos berkesimpulan, penyelenggaraan forecast Inggris dilaksanakan dengan bentuk sederhana dan tidak menimbulkan ekses judi. Selain itu, perbandingan yang diperoleh penyelenggara tebakan, pemerintah, dan hadiah bagi si penebak 40-40-20.
Tahun 1976, setelah meminta penilaian lagi dari Kejaksaan Agung, Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) dan Departemen Dalam Negeri, rencana Depsos untuk menyelenggarakan forecast tidak mendapat tantangan dan merencanakan pembagian hasil 50-30-20. Rencana itu belum bisa terlaksana, karena Presiden Soeharto bersikap hati-hati dan meminta untuk dipelajari lebih dalam lagi. Dibutuhkan waktu sekitar tujuh tahun untuk melaksanakan undian forecast ini.
Tanggal 28 Desember 1985, Kupon Berhadiah Porkas Sepak Bola diresmikan, diedarkan, dan dijual. Porkas dimaksudkan menghimpun dana masyarakat untuk menunjang pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga Indonesia. Porkas lahir berdasarkan UU No 22 Tahun 1954 tentang Undian, yang antara lain bertujuan agar undian yang menghasilkan hadiah tidak menimbulkan berbagai keburukan sosial.
Berbeda dari Toto KONI, Porkas tidak ada tebakan angka, melainkan penebakan M-S-K atau menang, seri, dan kalah. Perbedaan lain, kalau Toto KONI beredar sampai ke pelosok daerah, maka Porkas beredar hanya sampai tingkat kabupaten dan anak-anak di bawah usia 17 tahun dilarang menjual, mengedarkan, serta membelinya.
Kupon Porkas ini terdiri atas 14 kolom dan diundi seminggu sekali, setelah 14 grup sepak bola melakukan 14 kali pertandingan. Jadwal pertandingan ditentukan oleh PSSI dari jadwal di dalam dan luar negeri. Setiap pemegang kupon yang tahun 1985 senilai Rp 300 menebak mana yang menang (M), seri (S), dan kalah (K). Penebak jitu 14 kesebelasan mendapat hadiah Rp 100 juta.
Pada tanggal 11 Januari 1986, penarikan pertama Porkas dilakukan. Sampai dengan akhir Februari tahun yang sama, dana bersih yang dikumpulkan dari penyelenggaraan Porkas ini mencapai Rp 1 miliar. Pertengahan tahun 1986, pengedaran Porkas dilakukan melalui sistem loket. Para distributor, agen, subagen yang terbukti melakukan penyimpangan dipecat oleh Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS), sebuah yayasan yang juga mengelola Undian Tanda Sumbangan Berhadiah.
Bulan Oktober 1986, dana Porkas yang terkumpul sudah mencapai Rp 11 miliar, dari target Rp 13 miliar yang ditetapkan hingga akhir tahun. Dari jumlah ini, KONI Pusat mendapat Rp 1,5 miliar, KONI daerah Rp 4,5 miliar, PSSI Pusat Rp 1,4 miliar, Kantor Menpora Rp 250 juta, Asian Games X Seoul Rp 250 juta, administrasi antara Rp 8,5 miliar dan Rp 9 miliar, dan Rp 4 miliar didepositokan sebagai "dana abadi".
Akhir tahun 1987, Porkas berubah nama menjadi Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah (KSOB) dan bersifat lebih realistis. Dalam SOB ada dua macam kupon, kupon berisi tebakan sepak bola. Kali ini yang ditebak pada kupon tidak lagi menang-seri-kalah seperti pada Porkas, tetapi juga skor pertandingan, bahkan skor babak pertama dan babak kedua. Kupon SOB kedua berisi tebakan sepak bola dan tebakan huruf. Dalam kurun waktu Januari-Desember 1987, SOB menyedot dana masyarakat Rp 221,2 miliar.
Pertengahan tahun 1988, Fraksi Karya Pembangunan dan Fraksi Persatuan Pembangunan menyatakan, SOB dan TSSB (Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah) menimbulkan akibat negatif. Yakni, tersedotnya dana masyarakat pedesaan dan akan memengaruhi kehidupan perekonomian daerah.
![](https://fbcdn-photos-b-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xpa1/v/t1.0-0/s280x280/64851_164884526860402_265531_n.jpg?efg=eyJpIjoiYiJ9&oh=95c4d7518bfd29a1f9b19a1e7723d316&oe=55B1DFCB&__gda__=1435975211_1f68c58f95a3196175fc37632346b7db)
Pajak penghasilan lotre-lotre tersebut yang harus dibayar berturut-turut tahun 1986 Rp 2 miliar, tahun 1987 Rp 3 miliar, tahun 1988 Rp 4 miliar, dan tahun-tahun berikutnya Rp 8 miliar. Pada tahun 1991, berdasarkan kesepakatan dengan Dirjen Pajak, pelaksana/ pengelola harus membayar pajak pertambahan nilai (PPN) Rp 13,4 miliar, pajak hadiah undian dan PPh Rp 12 miliar, sehingga total pajak yang harus dibayarkan adalah Rp 25,4 miliar.
Pada tanggal 25 November 1993, pemerintah mencabut dan membatalkan pemberian izin untuk pemberlakuan SDSB tahun 1994. Lotre SDSB di Indonesia berakhir setelah sebelumnya didahului berbagai demonstrasi mahasiswa anti-SDSB.
Setelah itu, Dana Masyarakat untuk Olahraga (Damura), namun ditunda hingga semua persoalan yang menyangkut penggalangan dana masyarakat itu sudah jelas. Selain itu, penundaan dilakukan untuk menunggu keputusan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan DPR.
Ada tiga hal perlu diklarifikasi sebelum meluncurkan Damura. Pertama, konsep penjualan Damura termasuk judi atau tidak. Kedua, target penjualan kalangan menengah ke atas saja. Ketiga, porsi untuk olahraga yang hanya 6,5 persen harus diperbesar.
Kontroversi Damura berlalu, menyusul dibatalkan beroperasi. Semoga kontroversi Damura ini dirasakan sebagai pelajaran berharga. Perlu disadari, pembinaan olahraga bukanlah semata-mata masalah uang, melainkan lebih dari itu adalah dedikasi. Seperti yang menjadi Tap MPR: olahraga adalah upaya pemberdayaan individu yang akhirnya bermuara pada pemberdayaan bangsa.
Setelah itu muncul kupon asuransi kematian. Menteri Sosial (Mensos) H Bachtiar Chamsyah menilai kupon asuransi kematian pada 1 Agustus 2003 yang akan diterbitkan Departemen Sosial (Depsos). Namun bukan bentuk judi, seperti pada Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB).
Kupon asuransi kematian, yang akan dijual Rp 3.000 per lembar, berlaku seminggu, sehingga jika si pembeli selama seminggu berlakunya kupon itu meninggal, maka mendapat santuan Rp 7,5 juta. Namun juga gagal.
Menteri mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 673/HUK-UND/2003. Izin yang diberikan Departemen Sosial adalah izin undian gratis bagi penonton pertandingan olahraga dan pelaksanaannya mulai 1 Februari 2004.
Persoalan perjudian selalu memunculkan dua pendapat. Pertama, judi itu -sesuai dengan ajaran agama- haram hukumnya. Tidak ada tawar-menawar. Namun sisi kedua lainnya, malah berpendapat semua harus disikapi realistis. Jika judi tidak dilokalisasi, maka hanya mereka pemilik senjata dan modal nekat saja yang akan mengambil untung miliaran rupiah dari perputaran uang di atas meja judi.
Mantan Gubernur DKI Jakarta (1966-1977) Ali Sadikin termasuk orang yang realistis. Dalam "sejarah" perjudian Jakarta, dialah yang melegalkan judi dan mengambil keuntungan dari perjudian itu untuk membangun DKI Jakarta. Dalam memoarnya yang ditulis Ramadhan KH, tersirat makna perjudian liar itu tidak akan mampu dimusnahkan.
Jika judi liar dibiarkan begitu saja, maka hanya orang-orang bersenjata yang akan menikmati uang haram yang ternyata nikmat itu. Karena itu, Bang Ali mengeluarkan landasan legal hukum melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1957 yang memungkinkan pemerintah daerah memungut pajak atas izin perjudian.
Memang kemudian dari hasil dilegalkannya perjudian, Jakarta pun dapat tampil sebagai ibu kota negara Indonesia dengan lebih cantik. Bukan hanya jalan-jalan di Kota Jakarta yang sedang merangkak menjadi kota metropolitan saja yang menjadi licin. Berbagai sarana pendidikan hingga gelanggang olahraga pun dapat didirikan dari uang pajak perjudian. Kantong kas daerah pun saat itu mendapat pajak judi mencapai Rp 20 miliar.
Bukan hanya di Jakarta yang berkembang biak perjudian liar. Tetapi makin kental dan identik dengan beking oknum dan dunia preman yang selanjutnya merebak ke pelosok negara ini. Ketika Soeharto mendapat legitimasi penuh sebagai presiden, malu-malu tetapi kontinu mulai mencoba meluncurkan berbagi jenis permainan judi yang berkedok pencarian dana pembinaan olahraga.
Hal ini dilakukan lewat Menteri Sosial, yang kemudian muncul Kupon Berhadiah Porkas Sepak Bola, Porkas, Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah (KSOB) disusul Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah (TSSB). Pada intinya semua itu memang judi, namun siapa berani saat itu?
Masa pemerintahan KH Abdurrahman Wahid pun ternyata belum bisa melepaskan Jakarta -apalagi Indonesia- dari kegiatan perjudian yang dilarang semua agama.
Perilaku berjudi memiliki banyak efek samping yang merugikan
bagi si penjudi maupun keluarganya mungkin sudah sangat banyak disadari
oleh para penjudi. Anehnya tetap saja mereka menjadi sulit untuk
meninggalkan perilaku berjudi jika sudah terlanjur mencobanya.
Dari
berbagai hasil penelitian lintas budaya yang telah dilakukan para ahli
diperoleh 5 (lima) faktor yang amat berpengaruh dalam memberikan
kontribusi pada perilaku berjudi. Kelima faktor tersebut adalah:
Faktor Sosial & Ekonomi
Bagi masyarakat dengan status sosial dan ekonomi yang
rendah perjudian seringkali dianggap sebagai suatu sarana untuk
meningkatkan taraf hidup mereka. Tidaklah mengherankan jika pada masa
undian SDSB di Indonesia zaman orde baru yang lalu, peminatnya justru
lebih banyak dari kalangan masyarakat ekonomi rendah seperti tukang
becak, buruh, atau pedagang kaki lima. Dengan modal yang sangat kecil
mereka berharap mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya atau
menjadi kaya dalam sekejab tanpa usaha yang besar. Selain itu kondisi
sosial masyarakat yang menerima perilaku berjudi juga berperan besar
terhadap tumbuhnya perilaku tersebut dalam komunitas.
Faktor Situasional
Situasi yang bisa dikategorikan sebagai pemicu
perilaku berjudi, diantaranya adalah tekanan dari teman-teman atau
kelompok atau lingkungan untuk berpartisipasi dalam perjudian dan
metode-metode pemasaran yang dilakukan oleh pengelola perjudian. Tekanan
kelompok membuat sang calon penjudi merasa tidak enak jika tidak
menuruti apa yang diinginkan oleh kelompoknya. Sementara metode
pemasaran yang dilakukan oleh para pengelola perjudian dengan selalu
mengekspose para penjudi yang berhasil menang memberikan kesan kepada
calon penjudi bahwa kemenangan dalam perjudian adalah suatu yang biasa,
mudah dan dapat terjadi pada siapa saja (padahal kenyataannya
kemungkinan menang sangatlah kecil). Peran media massa seperti televisi
dan film yang menonjolkan keahlian para penjudi yang "seolah-olah" dapat
mengubah setiap peluang menjadi kemenangan atau mengagung-agungkan
sosok sang penjudi, telah ikut pula mendorong individu untuk mencoba
permainan judi.
Faktor Belajar
Sangatlah masuk akal jika faktor belajar memiliki
efek yang besar terhadap perilaku berjudi, terutama menyangkut keinginan
untuk terus berjudi. Apa yang pernah dipelajari dan menghasilkan
sesuatu yang menyenangkan akan terus tersimpan dalam pikiran seseorang
dan sewaktu-waktu ingin diulangi lagi. Inilah yang dalam teori belajar
disebut sebagai Reinforcement Theory yang mengatakan bahwa
perilaku tertentu akan cenderung diperkuat/diulangi bilamana diikuti
oleh pemberian hadiah/sesuatu yang menyenangkan.
Faktor Persepsi tentang Probabilitas Kemenangan
Persepsi yang dimaksudkan disini adalah persepsi
pelaku dalam membuat evaluasi terhadap peluang menang yang akan
diperolehnya jika ia melakukan perjudian. Para penjudi yang sulit
meninggalkan perjudian biasanya cenderung memiliki persepsi yang keliru
tentang kemungkinan untuk menang. Mereka pada umumnya merasa sangat
yakin akan kemenangan yang akan diperolehnya, meski pada kenyataannya
peluang tersebut amatlah kecil karena keyakinan yang ada hanyalah suatu
ilusi yang diperoleh dari evaluasi peluang berdasarkan sesuatu situasi
atau kejadian yang tidak menentu dan sangat subyektif. Dalam benak
mereka selalu tertanam pikiran: "kalau sekarang belum menang pasti di
kesempatan berikutnya akan menang, begitu seterusnya".
Faktor Persepsi terhadap Ketrampilan
Penjudi yang merasa dirinya sangat trampil dalam
salah satu atau beberapa jenis permainan judi akan cenderung menganggap
bahwa keberhasilan/kemenangan dalam permainan judi adalah karena
ketrampilan yang dimilikinya. Mereka menilai ketrampilan yang dimiliki
akan membuat mereka mampu mengendalikan berbagai situasi untuk mencapai
kemenangan (illusion of control). Mereka seringkali tidak dapat
membedakan mana kemenangan yang diperoleh karena ketrampilan dan mana
yang hanya kebetulan semata. Bagi mereka kekalahan dalam perjudian tidak
pernah dihitung sebagai kekalahan tetapi dianggap sebagai "hampir
menang", sehingga mereka terus memburu kemenangan yang menurut mereka
pasti akan didapatkan.
Mengingat bahwa perjudian amat sulit untuk diberantas, maka hal pertama yg perlu diperhatikan untuk melindungi anggota keluarga agar tidak terlibat dalam perjudian
adalah melalui penanaman nilai-nilai luhur di mulai dari keluarga,
selaku komunitas terkecil dalam masyarakat. Kalau orangtua dapat
menanamkan nilai-nilai luhur pada anak-anak sejak usia dini maka anak
akan memiliki kontrol diri dan kontrol sosial yang kuat dalam
kehidupannya, sehingga mampu memilih alternatif terbaik yang berguna
bagi dirinya dan masyarakat di sekitarnya. Penanaman nilai-nilai bukan
hanya sekedar dilakukan dengan kata-kata tetapi juga lebih penting lagi
melalui keteladanan dari orangtua.
Mengingat pula bahwa perilaku berjudi sangat erat
kaitannya dengan pola pikir seseorang dalam memilih suatu alternatif,
maka sangatlah perlu bagi orangtua, pendidik dan para alim ulama untuk
mengajarkan pola pikir rasional. Pola pikir rasional yang saya maksudkan
adalah mengajarkan seseorang untuk melihat segala sesuatu dari berbagai
segi, sebelum memutuskan untuk menerima atau menolak alternatif yang
ditawarkan. Dengan memiliki kemampuan berpikir rasional seseorang tidak
akan dengan mudah untuk mengambil jalan pintas.
Bagi anda yang merasa sudah sangat sulit untuk
meninggalkan perilaku berjudi, sebaiknya anda tidak segan-segan atau
malu untuk meminta bantuan orang-orang professional seperti psikiater,
psikolog, konselor atau terapist. Bekerjasamalah dengan mereka untuk
melepaskan diri dari masalah perjudian.
Jika memang tidak memiliki pengendalian diri yang
tinggi maka jangan sekali-kali anda mencoba untuk berjudi, sekalipun itu
hanya perilaku berjudi tingkat pertama. Jangan pula menjadikan judi
sebagai pelarian dari berbagai masalah kehidupan anda sehari-hari. Jika
memang memiliki masalah mintalah bantuan pada orang-orang professional,
bukan pergi ke tempat-tempat perjudian.
Perkuat iman kepada Tuhan dan perbanyak
kegiatan-kegiatan yang bersifat religius. Dengan meningkatkan iman dan
selalu mengingat ajaran agama anda masing-masing maka kemungkinan untuk
terlibat perjudian secara kompulsif akan semakin kecil.
Sumber :
- Sejarah Perjudian negara/togel mania
- www.e-psikologi.com/artikel/sosial/perilaku-berjudi
No comments:
Post a Comment