Thursday, 9 April 2015


Perjudian, sama halnya dengan pelacuran, telah ada dimuka bumi sama dengan peradaban manusia. Dalam cerita Mahabarata dapat diketahui bahwa Pandawa menjadi kehilangan kerajaan dan dibuang ke hutan selama 13 tahun karena kalah dalam permainan judi melawan Kurawa. Di dunia barat perilaku berjudi sudah dikenal sejak jaman Yunani kuno. Keanekaragaman permainan judi dan tekniknya yang sangat mudah membuat perjudian dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru dunia.

Banyak negara yang melarang perjudian sampai taraf tertentu, Karena perjudian mempunyai konsekwensi sosial yang kurang baik, dan mengatur batas yurisdiksi paling sah tentang undang-undang berjudi sampai taraf tertentu.

Judi dalam bentuk lotre sudah ada sejak tahun 1960-an yang zaman itu lebih dikenal dengan nama lotre buntut. Pada masa itu, di Bandung ada lotre yang disebut Toto Raga sebagai upaya pengumpulan dana mengikuti pacuan kuda. Sedangkan di Jakarta semasa Gubernur Ali Sadikin muncul undian lotre yang diberi nama Toto dan Nalo (Nasional Lotre).

Tahun 1965, Presiden Soekarno mengeluarkan Keppres No 113 Tahun 1965 yang menyatakan lotre buntut merusak moral bangsa dan masuk dalam kategori subversi. Memasuki Orde Baru, lotre ini terus berkembang. Tahun 1968, Pemda Surabaya mengeluarkan Lotto (Lotre Totalisator) PON Surya yang tidak ada kaitannya dengan penyelenggaraan olahraga, hanya berdasarkan undian. Tujuannya menghimpun dana bagi PON VII yang akan diselenggarakan di Surabaya tahun 1969.

Pada tahun 1974, Toto KONI dihapus. Pemerintah melalui Menteri Sosial Mintaredja (saat itu) mulai memikirkan sebuah gagasan untuk menyelenggarakan forecast sebagai bentuk undian tanpa menimbulkan ekses judi. Setelah studi banding selama dua tahun, Depsos berkesimpulan, penyelenggaraan forecast Inggris dilaksanakan dengan bentuk sederhana dan tidak menimbulkan ekses judi. Selain itu, perbandingan yang diperoleh penyelenggara tebakan, pemerintah, dan hadiah bagi si penebak 40-40-20.

Tahun 1976, setelah meminta penilaian lagi dari Kejaksaan Agung, Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) dan Departemen Dalam Negeri, rencana Depsos untuk menyelenggarakan forecast tidak mendapat tantangan dan merencanakan pembagian hasil 50-30-20. Rencana itu belum bisa terlaksana, karena Presiden Soeharto bersikap hati-hati dan meminta untuk dipelajari lebih dalam lagi. Dibutuhkan waktu sekitar tujuh tahun untuk melaksanakan undian forecast ini.

Tanggal 28 Desember 1985, Kupon Berhadiah Porkas Sepak Bola diresmikan, diedarkan, dan dijual. Porkas dimaksudkan menghimpun dana masyarakat untuk menunjang pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga Indonesia. Porkas lahir berdasarkan UU No 22 Tahun 1954 tentang Undian, yang antara lain bertujuan agar undian yang menghasilkan hadiah tidak menimbulkan berbagai keburukan sosial.

Berbeda dari Toto KONI, Porkas tidak ada tebakan angka, melainkan penebakan M-S-K atau menang, seri, dan kalah. Perbedaan lain, kalau Toto KONI beredar sampai ke pelosok daerah, maka Porkas beredar hanya sampai tingkat kabupaten dan anak-anak di bawah usia 17 tahun dilarang menjual, mengedarkan, serta membelinya.

Kupon Porkas ini terdiri atas 14 kolom dan diundi seminggu sekali, setelah 14 grup sepak bola melakukan 14 kali pertandingan. Jadwal pertandingan ditentukan oleh PSSI dari jadwal di dalam dan luar negeri. Setiap pemegang kupon yang tahun 1985 senilai Rp 300 menebak mana yang menang (M), seri (S), dan kalah (K). Penebak jitu 14 kesebelasan mendapat hadiah Rp 100 juta.

Pada tanggal 11 Januari 1986, penarikan pertama Porkas dilakukan. Sampai dengan akhir Februari tahun yang sama, dana bersih yang dikumpulkan dari penyelenggaraan Porkas ini mencapai Rp 1 miliar. Pertengahan tahun 1986, pengedaran Porkas dilakukan melalui sistem loket. Para distributor, agen, subagen yang terbukti melakukan penyimpangan dipecat oleh Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS), sebuah yayasan yang juga mengelola Undian Tanda Sumbangan Berhadiah.

Bulan Oktober 1986, dana Porkas yang terkumpul sudah mencapai Rp 11 miliar, dari target Rp 13 miliar yang ditetapkan hingga akhir tahun. Dari jumlah ini, KONI Pusat mendapat Rp 1,5 miliar, KONI daerah Rp 4,5 miliar, PSSI Pusat Rp 1,4 miliar, Kantor Menpora Rp 250 juta, Asian Games X Seoul Rp 250 juta, administrasi antara Rp 8,5 miliar dan Rp 9 miliar, dan Rp 4 miliar didepositokan sebagai "dana abadi".

Akhir tahun 1987, Porkas berubah nama menjadi Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah (KSOB) dan bersifat lebih realistis. Dalam SOB ada dua macam kupon, kupon berisi tebakan sepak bola. Kali ini yang ditebak pada kupon tidak lagi menang-seri-kalah seperti pada Porkas, tetapi juga skor pertandingan, bahkan skor babak pertama dan babak kedua. Kupon SOB kedua berisi tebakan sepak bola dan tebakan huruf. Dalam kurun waktu Januari-Desember 1987, SOB menyedot dana masyarakat Rp 221,2 miliar.

Pertengahan tahun 1988, Fraksi Karya Pembangunan dan Fraksi Persatuan Pembangunan menyatakan, SOB dan TSSB (Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah) menimbulkan akibat negatif. Yakni, tersedotnya dana masyarakat pedesaan dan akan memengaruhi kehidupan perekonomian daerah.

Pertengahan bulan Juli 1988, Mensos Dr Haryati Soebadio dalam rapat kerja dengan Komisi VIII DPR menegaskan, kupon KSOB dan TSSB tahun 1988 diperkirakan menyedot Rp 962,4 miliar dana masyarakat. Artinya, meningkat empat kali dibandingkan dengan hasil penjualan tahun 1987. Tanggal 1 Januari 1989, SOB dan TSSB dihentikan dan diganti permainan baru bernama Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB). Tujuan SDSB, menyumbang dengan beriktikad baik dan terbagi atas dua macam kupon; Kupon A seharga Rp 5.000 dengan hadiah Rp 1 miliar, dan Kupon B seharga Rp 1.000 dengan hadiah Rp 3,6 juta. Kedua kupon ini ditarik seminggu sekali dengan jumlah yang diedarkan 30 juta lembar (Kupon A sebanyak 1 juta lembar dan Kupon B sebanyak 29 juta lembar).

Pajak penghasilan lotre-lotre tersebut yang harus dibayar berturut-turut tahun 1986 Rp 2 miliar, tahun 1987 Rp 3 miliar, tahun 1988 Rp 4 miliar, dan tahun-tahun berikutnya Rp 8 miliar. Pada tahun 1991, berdasarkan kesepakatan dengan Dirjen Pajak, pelaksana/ pengelola harus membayar pajak pertambahan nilai (PPN) Rp 13,4 miliar, pajak hadiah undian dan PPh Rp 12 miliar, sehingga total pajak yang harus dibayarkan adalah Rp 25,4 miliar.

Pada tanggal 25 November 1993, pemerintah mencabut dan membatalkan pemberian izin untuk pemberlakuan SDSB tahun 1994. Lotre SDSB di Indonesia berakhir setelah sebelumnya didahului berbagai demonstrasi mahasiswa anti-SDSB.

Setelah itu, Dana Masyarakat untuk Olahraga (Damura), namun ditunda hingga semua persoalan yang menyangkut penggalangan dana masyarakat itu sudah jelas. Selain itu, penundaan dilakukan untuk menunggu keputusan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan DPR.

Ada tiga hal perlu diklarifikasi sebelum meluncurkan Damura. Pertama, konsep penjualan Damura termasuk judi atau tidak. Kedua, target penjualan kalangan menengah ke atas saja. Ketiga, porsi untuk olahraga yang hanya 6,5 persen harus diperbesar.

Kontroversi Damura berlalu, menyusul dibatalkan beroperasi. Semoga kontroversi Damura ini dirasakan sebagai pelajaran berharga. Perlu disadari, pembinaan olahraga bukanlah semata-mata masalah uang, melainkan lebih dari itu adalah dedikasi. Seperti yang menjadi Tap MPR: olahraga adalah upaya pemberdayaan individu yang akhirnya bermuara pada pemberdayaan bangsa.

Setelah itu muncul kupon asuransi kematian. Menteri Sosial (Mensos) H Bachtiar Chamsyah menilai kupon asuransi kematian pada 1 Agustus 2003 yang akan diterbitkan Departemen Sosial (Depsos). Namun bukan bentuk judi, seperti pada Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB).

Kupon asuransi kematian, yang akan dijual Rp 3.000 per lembar, berlaku seminggu, sehingga jika si pembeli selama seminggu berlakunya kupon itu meninggal, maka mendapat santuan Rp 7,5 juta. Namun juga gagal.

Menteri mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 673/HUK-UND/2003. Izin yang diberikan Departemen Sosial adalah izin undian gratis bagi penonton pertandingan olahraga dan pelaksanaannya mulai 1 Februari 2004.

Persoalan perjudian selalu memunculkan dua pendapat. Pertama, judi itu -sesuai dengan ajaran agama- haram hukumnya. Tidak ada tawar-menawar. Namun sisi kedua lainnya, malah berpendapat semua harus disikapi realistis. Jika judi tidak dilokalisasi, maka hanya mereka pemilik senjata dan modal nekat saja yang akan mengambil untung miliaran rupiah dari perputaran uang di atas meja judi.

Mantan Gubernur DKI Jakarta (1966-1977) Ali Sadikin termasuk orang yang realistis. Dalam "sejarah" perjudian Jakarta, dialah yang melegalkan judi dan mengambil keuntungan dari perjudian itu untuk membangun DKI Jakarta. Dalam memoarnya yang ditulis Ramadhan KH, tersirat makna perjudian liar itu tidak akan mampu dimusnahkan.

Jika judi liar dibiarkan begitu saja, maka hanya orang-orang bersenjata yang akan menikmati uang haram yang ternyata nikmat itu. Karena itu, Bang Ali mengeluarkan landasan legal hukum melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1957 yang memungkinkan pemerintah daerah memungut pajak atas izin perjudian.

Memang kemudian dari hasil dilegalkannya perjudian, Jakarta pun dapat tampil sebagai ibu kota negara Indonesia dengan lebih cantik. Bukan hanya jalan-jalan di Kota Jakarta yang sedang merangkak menjadi kota metropolitan saja yang menjadi licin. Berbagai sarana pendidikan hingga gelanggang olahraga pun dapat didirikan dari uang pajak perjudian. Kantong kas daerah pun saat itu mendapat pajak judi mencapai Rp 20 miliar.

Bukan hanya di Jakarta yang berkembang biak perjudian liar. Tetapi makin kental dan identik dengan beking oknum dan dunia preman yang selanjutnya merebak ke pelosok negara ini. Ketika Soeharto mendapat legitimasi penuh sebagai presiden, malu-malu tetapi kontinu mulai mencoba meluncurkan berbagi jenis permainan judi yang berkedok pencarian dana pembinaan olahraga.

Hal ini dilakukan lewat Menteri Sosial, yang kemudian muncul Kupon Berhadiah Porkas Sepak Bola, Porkas, Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah (KSOB) disusul Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah (TSSB). Pada intinya semua itu memang judi, namun siapa berani saat itu?

Masa pemerintahan KH Abdurrahman Wahid pun ternyata belum bisa melepaskan Jakarta -apalagi Indonesia- dari kegiatan perjudian yang dilarang semua agama.



Perilaku berjudi memiliki banyak efek samping yang merugikan bagi si penjudi maupun keluarganya mungkin sudah sangat banyak disadari oleh para penjudi. Anehnya tetap saja mereka menjadi sulit untuk meninggalkan perilaku berjudi jika sudah terlanjur mencobanya. 

Dari berbagai hasil penelitian lintas budaya yang telah dilakukan para ahli diperoleh 5 (lima) faktor yang amat berpengaruh dalam memberikan kontribusi pada perilaku berjudi. Kelima faktor tersebut adalah:

Faktor Sosial & Ekonomi
Bagi masyarakat dengan status sosial dan ekonomi yang rendah perjudian seringkali dianggap sebagai suatu sarana untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Tidaklah mengherankan jika pada masa undian SDSB di Indonesia zaman orde baru yang lalu, peminatnya justru lebih banyak dari kalangan masyarakat ekonomi rendah seperti tukang becak, buruh, atau pedagang kaki lima. Dengan modal yang sangat kecil mereka berharap mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya atau menjadi kaya dalam sekejab tanpa usaha yang besar. Selain itu kondisi sosial masyarakat yang menerima perilaku berjudi juga berperan besar terhadap tumbuhnya perilaku tersebut dalam komunitas.

Faktor Situasional
Situasi yang bisa dikategorikan sebagai pemicu perilaku berjudi, diantaranya adalah tekanan dari teman-teman atau kelompok atau lingkungan untuk berpartisipasi dalam perjudian dan metode-metode pemasaran yang dilakukan oleh pengelola perjudian. Tekanan kelompok membuat sang calon penjudi merasa tidak enak jika tidak menuruti apa yang diinginkan oleh kelompoknya. Sementara metode pemasaran yang dilakukan oleh para pengelola perjudian dengan selalu mengekspose para penjudi yang berhasil menang memberikan kesan kepada calon penjudi bahwa kemenangan dalam perjudian adalah suatu yang biasa, mudah dan dapat terjadi pada siapa saja (padahal kenyataannya kemungkinan menang sangatlah kecil). Peran media massa seperti televisi dan film yang menonjolkan keahlian para penjudi yang "seolah-olah" dapat mengubah setiap peluang menjadi kemenangan atau mengagung-agungkan sosok sang penjudi, telah ikut pula mendorong individu untuk mencoba permainan judi.

Faktor Belajar
Sangatlah masuk akal jika faktor belajar memiliki efek yang besar terhadap perilaku berjudi, terutama menyangkut keinginan untuk terus berjudi. Apa yang pernah dipelajari dan menghasilkan sesuatu yang menyenangkan akan terus tersimpan dalam pikiran seseorang dan sewaktu-waktu ingin diulangi lagi. Inilah yang dalam teori belajar disebut sebagai Reinforcement Theory yang mengatakan bahwa perilaku tertentu akan cenderung diperkuat/diulangi bilamana diikuti oleh pemberian hadiah/sesuatu yang menyenangkan.
Faktor Persepsi tentang Probabilitas Kemenangan
Persepsi yang dimaksudkan disini adalah persepsi pelaku dalam membuat evaluasi terhadap peluang menang yang akan diperolehnya jika ia melakukan perjudian. Para penjudi yang sulit meninggalkan perjudian biasanya cenderung memiliki persepsi yang keliru tentang kemungkinan untuk menang. Mereka pada umumnya merasa sangat yakin akan kemenangan yang akan diperolehnya, meski pada kenyataannya peluang tersebut amatlah kecil karena keyakinan yang ada hanyalah suatu ilusi yang diperoleh dari evaluasi peluang berdasarkan sesuatu situasi atau kejadian yang tidak menentu dan sangat subyektif. Dalam benak mereka selalu tertanam pikiran: "kalau sekarang belum menang pasti di kesempatan berikutnya akan menang, begitu seterusnya".

Faktor Persepsi terhadap Ketrampilan
Penjudi yang merasa dirinya sangat trampil dalam salah satu atau beberapa jenis permainan judi akan cenderung menganggap bahwa keberhasilan/kemenangan dalam permainan judi adalah karena ketrampilan yang dimilikinya. Mereka menilai ketrampilan yang dimiliki akan membuat mereka mampu mengendalikan berbagai situasi untuk mencapai kemenangan (illusion of control). Mereka seringkali tidak dapat membedakan mana kemenangan yang diperoleh karena ketrampilan dan mana yang hanya kebetulan semata. Bagi mereka kekalahan dalam perjudian tidak pernah dihitung sebagai kekalahan tetapi dianggap sebagai "hampir menang", sehingga mereka terus memburu kemenangan yang menurut mereka pasti akan didapatkan.

Mengingat bahwa perjudian amat sulit untuk diberantas, maka hal pertama yg perlu diperhatikan untuk melindungi anggota keluarga agar tidak terlibat dalam perjudian adalah melalui penanaman nilai-nilai luhur di mulai dari keluarga, selaku komunitas terkecil dalam masyarakat. Kalau orangtua dapat menanamkan nilai-nilai luhur pada anak-anak sejak usia dini maka anak akan memiliki kontrol diri dan kontrol sosial yang kuat dalam kehidupannya, sehingga mampu memilih alternatif terbaik yang berguna bagi dirinya dan masyarakat di sekitarnya. Penanaman nilai-nilai bukan hanya sekedar dilakukan dengan kata-kata tetapi juga lebih penting lagi melalui keteladanan dari orangtua.

Mengingat pula bahwa perilaku berjudi sangat erat kaitannya dengan pola pikir seseorang dalam memilih suatu alternatif, maka sangatlah perlu bagi orangtua, pendidik dan para alim ulama untuk mengajarkan pola pikir rasional. Pola pikir rasional yang saya maksudkan adalah mengajarkan seseorang untuk melihat segala sesuatu dari berbagai segi, sebelum memutuskan untuk menerima atau menolak alternatif yang ditawarkan. Dengan memiliki kemampuan berpikir rasional seseorang tidak akan dengan mudah untuk mengambil jalan pintas.

Bagi anda yang merasa sudah sangat sulit untuk meninggalkan perilaku berjudi, sebaiknya anda tidak segan-segan atau malu untuk meminta bantuan orang-orang professional seperti psikiater, psikolog, konselor atau terapist. Bekerjasamalah dengan mereka untuk melepaskan diri dari masalah perjudian.

Jika memang tidak memiliki pengendalian diri yang tinggi maka jangan sekali-kali anda mencoba untuk berjudi, sekalipun itu hanya perilaku berjudi tingkat pertama. Jangan pula menjadikan judi sebagai pelarian dari berbagai masalah kehidupan anda sehari-hari. Jika memang memiliki masalah mintalah bantuan pada orang-orang professional, bukan pergi ke tempat-tempat perjudian.

Perkuat iman kepada Tuhan dan perbanyak kegiatan-kegiatan yang bersifat religius. Dengan meningkatkan iman dan selalu mengingat ajaran agama anda masing-masing maka kemungkinan untuk terlibat perjudian secara kompulsif akan semakin kecil. 






Sumber :
  •  Sejarah Perjudian negara/togel mania
  • www.e-psikologi.com/artikel/sosial/perilaku-berjudi


No comments:

Post a Comment