Saturday, 21 February 2015

Asal Mula Budaya Erlau-lau Pada Masyarakat Karo

Dari Barus, Ajinembah, Erlau-lau, Hingga Barus Jahe
(Cerita Memanggil Hujan dari Ajinembah setelah Bisikan Kalak Barus)

…“Ada sepasang suami istri yang kawin sumbang di kampung ini, karena itulah hujan tak kunjung datang dan sial akan terus menimpa desa ini,“ katanya…

Kota Barus, kota pelabuhan yang konon tersohor karena merupakan eksportir kapur barus yang mendunia, tinggallah sepasang suami istri yang sakti. Lambat laun Banyak orang yang datang kepada mereka untuk meminta kesaktian dan lainnya seperti ramuan obat-obatan, hingga membuat mereka merasa tidak nyaman untuk menetap di kota Barus.

Sepasang suami istri tersebut sepakat untuk mencari tempat yang baru agar hidup dengan tentram. Berangkatlah mereka ke dataran tinggi karo untuk mencari tempat yang baru untuk menetap. Mereka berangkat dengan membawa segenggam tanah dan air sebagai acuan tempat yang sama nantinya dengan tempat awal mereka (Barus).

Tibalah mereka di sebuah pematang sawah, dimana mereka melihat ada seorang petani yang sedang menanam padi dan bertanya kepada petani tersebut.
“ Wahai petani yang baik hati, Bolehkah saya beserta istri saya beristirahat dan bermalam di gubukmu?“ tanya sang pengelana itu kepada petani tersebut.

Sambil tersenyum, petani menjawab pertanyaan suami istri tersebut, “ Bukan saya menolak dan tidak memberikan ijin kepada kalian tapi alangkah baiknya kalian beristirahat dan bermalam di rumah saya saja,” ujarnya kepada suami istri pengelana tersebut.

Setelah pekerjaan Petani tersebut selesai, akhirnya mereka bertiga pun berangkat menuju kampung yang di kenal dengan Ajinembah. Di rumah sang petani, percakapan pun terjadi, mulai dari mengapa mereka akhirnya sampai di Ajinembah sambil menikmati ubi bakar dan teh hangat suguhan petani.

Sang Petani lalu menyarankan sejoli tersebut untuk menemui penghulu kampung yang ketika itu bermarga Ginting Munte untuk meminta izin untuk menetap di Ajinembah. Pasangan ini harus menunggu, karena kebetulan Ginting Mergana sedang menggelar syukuran pindahan rumah baru.

Hingga beberapa harinya hiruk pikuk di rumah penghulu kampung tersebut tiada habisnya, sehingga penghulu merasa risau karena tamu tamunya tak kunjung habis dan tidak ingat pulang dari rumah penghulu kampung. Lalu suami istri yang dikenal dari Barus tersebut menawarkan bantuan kepada penghulu kampung untuk mengatasi keadaan ini.

Oleh pasangan suami istri dari Barus ini, penghulu diminta menyiapkan beras, dedaunan, dan air. Setelah bahan-bahan terkumpul, Keluarga Barus tersebut menyiramkan ramuan ke kenjahe dan kenjulu rumah penghulu tersebut. Betapa terhenyaknya Penghulu karena setelah itu tamunya bagai tersadar lalu satu persatu pulang ke rumah mereka masing-masing.

Merasa terbantu oleh keluarga dari Barus ini, sebagai ucapan terimakasihnya, penghulu kampung mengangkat si Barus menjadi kalimbubu di kampung Ajinembah tersebut.

**

Tinggallah keluarga yang selanjutnya disebut Kalak Barus ini di Ajinembah. Di daerah dataran tinggi yang mengandalkan pertanian sebagai pencaharian berharap banyak pada hujan. Namun ketika itu kemarau panjang datang. Hujan tak kunjung datang dan banyak tanaman masyarakat kampung gagal panen. Sehingga masyarakat di kumpulkan oleh penghulu kampung di jambur.

Guru Sibaso atau “orang pintar” menjadi sosok yang dinantikan untuk memecahkan masalah karena dia dianggap mampu mendatangkan hujan melalui keilmuannya.
Tak perlu menunggu lama, malam itu juga Guru Sibaso dihadirkan. Seperti biasa, masayarakat terlebih dahulu akan bertanya mengapa kemarau panjang begitu tak kompromi sehingga menyusahkan masyarakat desa itu.

Dengan kemampuannya berkomunikasi dengan dunia lain, Guru Sibaso akhirnya berucap: “Ada sepasang suami istri yang kawin sumbang (sedarah) di kampung ini, karena itulah hujan tak kunjung datang dan sial akan terus menimpa desa ini,“ katanya.

Kecurigaan langsung mengarah pada pendatang baru, sejoli dari Barus. Kecurigaan yang liar membuat mereka memaksa penghulu untuk mengusir Kalak Barus tersebut. Penghulu Kampung yang bijaksana dan welas asih sangat bersedih, mengingat pasangan tersebut sangat baik hatinya dan sakti pula kemampuannya. Namun atas permintaan rakyatnya, Penghulu akhirnya meminta Kalak Barus tersebut meninggalkan Ajinembah.

Tak banyak yang bisa dilakukan Kalak Barus ini. Tidak untuk menangkal apa yang mereka tuduhkan, tidak juga membela diri. Mereka hanya harus pergi. Tanpa meninggalkan kesan lebih buruk, pasangan ini sambil tersenyum datar berlalu. Namun sebelum berlalu, Kalak Barus ini berbisik pada pengulu.

“Jika kalian ingin hujan datang ke kampung ini, maka semua masyarakat kampung harus mandi dan membasahi seluruh kampung ini “ ujarnya kepada penghulu.

**

Dalam perjalanannya, Kalak Barus ini menemukan sebuah tempat yang tanah dan airnya sama dengan yang dibawanya dari barus. Suami istri tersebut pun membangun gubuk untuk mereka tinggal disana. Nama ini sekarang berkembang dan dikenal dengan Barus Jahe. Mereka hidup tentram di sana.

Rupanya Ajinembah yang ditinggalkan tidaklah seberuntung itu. Berbulan-bulan ditinggalkan Kalak Barus, hujan tak juga datang. Ginting munte yang awalnya tak rela mengusir Kalak Barus ini semakin menyesal. Namun ia teringat akan pesan barus tentang hujan.

Setengah putus asa, Merga Ginting ini memutuskan melaksanakan apa yang dipintakan Kalak Barus tersebut. Lagi, Penghulu ini terhenyak karena tak lama setelah itu hujan turun dengan derasnya. Rakyat Ajinembah menyambut hujan dengan sukanya. Penasaran, rakyat yang seperti mendapat berkah dari langit bertanya akan penghulu, apa gerangan yang membuat hujan datang begitu derasnya setelah begitu lama dinantikan.

Terharu, penghulu dalam tangisnya menceritakan pengalamannya dengan Kalak Barus dan pesan yang disampaikannya sebelum berlalu dari Ajinembah. “ Aku menyesal telah mengusir Barus dan istrinya dari kampung kita ini, dia lah yang berpesan kepadaku agar melaksanakan ini sebelum dia pergi “ jawabnya kepada masyarakat kampung.

Penghulu Kampung Pun Menyuruh Masyarakat Kampung Mencari Barus Dan Istrinya Karena Merasa menyesal telah mengusir mereka. Selang beberapa bulan, akhirnya orang yang disuruh menemukan si Barus dan istrinya dan meminta mereka berdua agar kembali ke kampung Ajinembah karena merupakan pesan dan penyesalan penghulu kampung beserta masyarakat.

Kalak Barus pun berterimakasih atas niat baik penghulu dan rakyatnya, namun Kalak Barus ini sudah terlanjur suka dengan tempat baru mereka.
“Sampaikan terima kasih kami kepada penghulu kampung, kami sudah berbahagia di tempat ini dan berharap penghulu kampung tidak melupakan kami,” katanya dalam kesederhanaannya.

Atas pesan balasan yang dibawa rakyat Ajinembah dari Barus pada penghulu, penghulu tak puas. Dia merasa harus meminta sendiri kepada Kalak Barus tersebut dan memutuskan pergi ke Barus Jahe. Barus tetap menolak dengan alasan mereka berbahagia berada di barus jahe dan inilah tempat cikal bakal keturunan mereka berkembang nantinya.

Penghulu kampung Ajinembah Ginting mergana pun meminta ijin kepada Si Barus agar dapat membangun tempat dirinya di Barus jahe. “Di sini (Barusjahe) kubangun tempat untukmu, sebagai tanda aku adalah anak berundu, Kalimbubu,” kata pengulu Ajinembah tersebut.

Ikrar tersebut diterima sebagai awal mula berdiri Barus Jahe yang kemudian dipenuhi oleh keturunan Kalak Barus. Semakin beranak pinak mereka, akhirnya daerah-daerah sekitar Barus Jahe dibangun daerah-daerah baru oleh Keturunan Kalak Barus yang sakti tersebut.


No comments:

Post a Comment