Saturday 14 March 2015

" Kolor Ijo "


Oleh Hujan Tarigan


KOLOR IJO sudah sampai di RT kami. Kabar itu merusak kedamaian warga. Beberapa hari yang lalu, Kolor Ijo masih merambat di RT sebelah. Rumah seorang janda beranak tiga diobrak-abrik. Kasihan janda itu, dia sempat digoda keperkasaan si Kolor Ijo. Tapi untung lah dia luput. Hanya hartanya saja yang habis digasak.

Walau hanya sas-sus, Kolor Ijo berhasil menancapkan namanya dalam agenda nasional. Warga di ibukota yang canggih ini terkesiap sejenak dan bergidik juga mendengar cerita yang masih diragukan kebenarannya itu.

"Aneh, di zaman internet begini, masih ada juga yang percaya dengan cerita begituan," kata Solihin sambil menyodorkan tempe goreng ke mulutnya.

"Eh, elu sih kagak percaya. Itu tuh, mpok Rumine nyang ngomong sendiri ke gua. Katanye nih ye, tadi malem ada sesosok mahluk aneh sedang ngetem di rumahnye," kata mpok Salma serampangan.

"Ah masak mpok. Pegimane ceritanye?" mpok Ida masih kurang percaya. "Yah, masak gua bohong," kata penjual warung itu.
"Nih die nih," mpok Salma mulai bercerita.
"Tadi malem mpok Rumine mau ke wc. Nah, wc di rumahnye, pan harus ngelewatin dapur."
Sampai di situ mpok Ida dan Solihin mendengar dengan serius. "Nah, pas die mau ngelewatin dapurnye, die ngelihat ade sekelebat bayangan."

"Penampakan kali mpok," potong Solihin.

"Ngelihat pemandangan ntuh, mpok Rumine ngacir ke kamarnya dan ngebangunin suaminya, Bang Jalil. Setelah bangun, Bang Jalil ame mpok Rumine balik lagi ke dapur. Tapi sebelum itu mpok Rumine sempat nyamber bambu kuning ame daun kelor yang ditempelin di pintu kamarnye. Dan Bang Jalil nyamber golok. Kedua laki bini itu membuka pintu," kata mpok Salma sembari memperagakan adegan demi adegan. "Dengan segala ayat-ayat suci yang mereka hapal, akhirnya dengan mudah laki-bini itu tiba juga di dapur."

"Die nih bang. Aye ngelihat ntu bayangan," sambung mpok Salma menirukan mpok Rumine. "Ah di mane? Kagak ade," kata mpok Rumine menirukan Bang Jalil. "Tapi tadi ade Bang. Aye ngelihat die main-mainin tudung saji," mpok Rumine lagi sambil membuka tudung saji.

"Kampret," tiba-tiba dengan keras mpok Salma melompat hampir menjatuhkan gorengan yang baru ditiriskan.
"Eh, kampret-kampret," sambung mpok Ida latah. Dan Solihin pun seperti tersentak kaget, "Kampret," bisiknya.
"Emang tuh kolor Ijo berubah jadi kampret?" tanya Solihin serius.
"Yah kagak. Denger nih, gue lanjutin tuh cerita," kata mpok Salma sambil memasukkan singkong ke minyak panas.

"Jadi sewaktu mpok Rumine membuka tudung saji nyang ade di meja makannye, die kaget setengah mati. Dan berteriak-teriak kampret. Nah Bang Jalil kaget dan kata mpok Rumine, die nyabut tuh golok dari sarungnya.”

"Apa tuh jengkol dimakan ame Kolor Ijo mpok?" tanya mpok Ida pada mpok Salma.

"Ye, gue gak tau." Jawab mPok Salma. "Wah tuh demit kelaparan kali," kata Solihin.

"Norak lu!" kata mpok Salma pada Solihin yang asal nyeletuk.
"Mpok beli nasi uduknya," pembicaraan itu terhenti ketika seorang anak kecil tiba-tiba muncul membeli nasi

II
Kolor Ijo membuka cabang. Mahluk yang dikabarkan memiliki congor seperti babi, kuping yang panjang seperti kelelawar, kuku hitam dan panjang-panjang, tubuh yang gemuk pendek dengan bulu yang tumbuh di sekujur kulitnya yang berwarna gelap, muncul seperti zombie yang menakutkan di daerah pinggiran Jakarta.

Menurut cerita, awalnya Kolor Ijo barawal dari seorang lelaki yang menuntut kesaktian. Dengan syarat memperkosa wanita, gak peduli gadis, atau janda dengan jumlah yang telah ditentukan.

Ilmu itu dipercaya dapat membuat lelaki itu menjadi kebal, bisa menghilang, cepat kaya, dan tentunya perkasa. Konon agar tidak terlihat orang, mungkin, lelaki itu harus telanjang dalam setiap operasinya. Namun, mungkin lagi, setelah lelaki itu bargaining dengan Sang Guru, dia diperbolehkan memakai kostum.

Mungkin pada awalnya, lelaki itu menghendaki sebuah sarung sebagai aksesoris operasionalnya. Mungkin ketika itu sarung yang dimilikinya berwarna kuning. Sehingga memungkinkan lelaki itu dikenal sebagai si “Sarung Kuning”. Masih mungkin, ketika lelaki itu memulai operasinya yang pertama dengan telanjang dan hanya ditutupi sarung yang berwarna kuning tadi, dia merasa terhalang oleh sarungnya sendiri. Sehingga secara alamiah, nalurinya menyarankan agar melepas satu-satunya penutup yang dapat menahanya dari rasa dinginya malam. Mungkin setelah sarung kuningnya lepas, satu-satunya yang tersisa melekat ditubuh si lelaki itu adalah kolor. Kebetulan sekali berwarna hijau! Mungkin itulah yang terjadi pada sejarah Kolor Ijo. Tapi, kenapa harus Kolor Ijo? Bukannya Kancut Ijo atau Sempak Ijo atau Celana Dalam Ijo?

III
Isu Kolor Ijo menggemparkan Jakarta. Serentak dengan kemunculanya si Kolor Ijo, tadi pagi di tv Odon melihat berita, koridor busway yang baru diresmikan Bang Yos sudah pada rusak. Sampah di Bantar Gebang membnggunung dan membentang. Kaleng pemilu yang disediakan KPU belum cukup. Amerika keliru menyerang Irak. Flu burung menyebar di Asia. George Soros mengganjal Bush. Semuanya nyatu, Odon pusing. Semua orang pusing.

Suatu malam ketika ronda di RT kami sedang berjaga, tiba-tiba Pak Leman dari RT sebelah berteriak berlari ke RT kami. Pak Leman memberi kabar, di RT-nya terjadi suatu peristiwa penting. Kolor Ijo tertangkap! Maka seketika itu pula RT kami terpukau dengan kabar itu. Para lelaki di RT kami melindungi rumah-rumahnya dengan golok dan apa saja yang ada di tangan. Tak terkecuali Odon yang masih numpang hidup di rumah bapaknya. Sedangkan para wanitanya meringkuk di ujung ranjang yang sudah dihiasi bambu kuning dan daun kelor.

Seperti ceritanya, akhirnya Kolor Ijo yang ini dapat diringkus tanpa melakukan perlawanan. Hampir saja, seluruh warga yang pada dasarnya berhati mulia, membantainya di tempat. Mahluk yang disangka Kolor Ijo terduduk lesu di pekarangan rumah Narji. Sekujur tubuhnya memar, darah keluar dari hidung dan kepalanya.

"Hayo, ngaku lu!"
"Bangsat lu ya!"
" Mau perkosa siape lu disini?!"
"Gue gampar juga lu!" Si Kolor Ijo terlihat cuma meringis, sebentar kemudian tersenyum-senyum.

"He eh, ngeledek lu ya?!"
"Sialan kebal lu ye?!"
"Awas luh!! Gua matiin lu!"

Mahluk yang hampir bugil itu akhirnya dipindahkan ke pos hansip. Dengan tertatih-tatih dia diseret paksa. Semua mengerumuni lokasi kejadian. Ingin melihat tampang si Kolor Ijo dari dekat. Membunuh rasa penasarannya masing-masing.

"Jang, panggil polisi," kata Tugiyo lakinya mpok Salma. Seorang wartawan nyelinap ke tengah kerumunan. Si Kolor Ijo cuma mesem-mesem.

"Saya ngelihat tuh setan lompat dari semak-semak belakang rumah bang Narji," ungkap Saipul yang meronda pada malam itu memberikan keterangan pada wartawan.

IV
"Ah, sialan lu!"
"Bakar aja."

Suara-suara makin liar berseliweran. Hiruk pikuk di pos hansip. Ketua RT datang bersama seorang ustad. Seorang pemuda dengan iseng menggetok kepala si Kolor Ijo dengan bambu kuning.

"Woi, lihat kolor nya!" teriak Solihin. Sontak semua orang mengarah pada Solihin dan menoleh ke arah si Kolor Ijo. Semua mata mendelik. Wajah si Kolor Ijo sudah bonyok dan lebih seram dari setan yang ada di film-film horor Hollywood. Tubuhnya memang tegap, tapi tidak penuh bulu, seperti yang dikatakan orang-orang tentang ciri-ciri si Kolor Ijo. Cuma bulu-bulu tipis yang menghiasi pusarnya. Dan, apa?! Keliru! Pak RT langsung kaget. Semua orang jadi tak percaya. Kolornya warna kuning. Dan basah. Dan bau kencing!

"Wah salah nih," seorang pemuda dengan lesu membalikan badanya.

"Kolornya warna kuning," kata mpok Indun yang ikut ronda malam itu.

"Bau kencing…"
"Wow apa nih?!"

"Doski adik seperguruan Kolor Ijo," teriak pemuda punk setengah teler.

Seorang bersepatu kets menghampiri mahluk itu. "Die anak bang Toyib warga RT sebelah!" katanya sambil memandang RT kami. Semuanya panik. Kata-kata berseliweran di mana-mana. Kepanikan telah meluncur bebas dari perut-perut yang dipenuhi cacian dan kebosanan. Semua senter diarahkan ke pemuda itu. Sinarnya seakan mau memastikan bahwa mahluk itu adalah Sukron anak tunggal Bang Toyib.

"Sinting," kata Pak RT mencoba menenangkan warga. Keributan tetap tak terhentikan, yang ada di dalam kerumunan itu, cuma rasa geram dan grrr, tawa.

Bang Toyib datang terengah-engah seperti mengutuki dirinya sendiri.
"Kadal buntung! Siape yang berani menghajar anak gue sampai begini macam?" Bang Toyib yang mantan jawara Jatinegara menerobos kerumunan di pos hansip sambil mengacungkan goloknya ke arah orang-orang. Semua warga menghindar.

"Sama gelonya," celetuk seseorang sembari meninggalkan kerumunan.

Bang Toyib murka. Pak RT sebelah coba menjelaskan duduk perkara. Saipul lemas dan kehilangan keberanian. Kerumunan sepi. Namun masih seperti lebah dengan suara-suara yang membuat sakit telinga.

Bang Toyib makin murka. Odon menghampiri kerumunan. Para wanita keluar dari rumahnya masing-masing. Sukron cengengesan. Pak Polisi datang bersama Jajang. Suasana sedikit mereda. Pak Polisi lalu mengangkut Pak RT, Saipul, Bang Toyib dan Sukron si Kolor Ijo gadungan.

V
Paginya cerita Kolor Ijo gadungan jadi pembicaraan di kedua RT yang bertetangga itu. Semua orang meributkan nasib Sukron yang malang. Para wanita di RT kami kembali diterkam rasa ketakutan. Terjadi polemik. Apakah Sukron merupakan anggota sindikat Kolor Ijo, atau bukan. Kalau terbukti bukan, itu artinya Sukron benar-benar gila, seperti yang diketahui warga mengenainya.

Opini warga kembali terbentuk dan kembali terbentur.

Sementara mpok Salma telah membuka stand baru di samping warung nasi uduknya. "Hal ini gue lakuin demi keamanan kite-kite juga pan?" katanya sambil menyendok nasi di termos.

Memang sebelumnya, Wak Haji Syarif pernah komplain pada Pak RT. Pasalnya, para warga secara liar dan serampangan telah menjarah tanaman hiasnya yaitu bambu kuning. "Ane kagak senang orang-orang pade seenaknye masuk pekarangan ane dan nebasin bambu-bambu ane. Pokonya ane gak senang! Nggak redho dunia akhirat," umpatnya suatu pagi di rumah Pak RT.

Karena semakin parah dan santer saja isu Kolor Ijo, maka mpok Salma menekan harga bambu kuning dan daun kelor yang menjadi bisnis lainnya kini. "Gile bener, masak beginian sampe tiga ribu?” ujar mpok Salma pada suatu hari. "Yah, lebih baik buang dikit daripada ilang banyak" sahut mpok Salma. Mereka tawar menawar ‘penangkal’ Kolor Ijo.

Sementara telah terjadi suatu peristiwa yang sangat penting di RT sebelah. Kedua pimpinan RT bertemu dan saling menyetujui pokok-pokok pikiran masing-masing delegasi. Secara kooperatif dan bertanggung jawab, kedua Ketua RT menyetujui sebuah resolusi, agar tidak terjadi lagi Sukrongate yang bisa menimbulkan desintegrasi dalam skala nasional. Persetujuan itu dikenal warga dengan nama "Konvensi Kolor Ijo".

Sehari setelah Konvensi Kolor Ijo ditandatangani, warga kedua RT saling bahu membahu dalam menangkal dan menolak epidemi Kolor Ijo. Plang, pamflet dan selebaran ditempel di gang-gang, di tembok-tembok rumah. Bunyinya, "Kawasan Bebas Kolor Ijo". Jam malam pun diberlakukan.

VI
"Dilarang keliaran tengah malam!" Odon membaca dengan keras peringatan yang ditempel di pintu masuk RT kami. Hal ini begitu janggal bagi Odon yang seorang mahasiswa. Kebebasan Odon buat bertemu pacarnya jadi terenggut hanya karena sebuah gosip.

"Gila," desisnya. Dia berjalan terus. Dengan setelan kemeja dan bawahan kain bahan, begitu rapi dia. Wangi lagi. Walau parfumnya murahan.

Jam delapan malam Odon tiba di rumah pacarnya. Awalnya Odon berniat mengajak sang pacar nomat, tapi karena sadar sudah malam, maka Odon dan pacarnyaa menghabiskan malam itu hanya dengan cubit-cubitan. Yah, seperti anak muda lainya, mereka hanyut dalam panasnya gelora cinta.

Kemeja Odon basah. Gerah. Pacarnya bosan hanya dengan cubit-cubitan. Mereka berdua ingin lebih lama lagi merasakan sakit sekaligus nikmatnya cubitan yang saling diberikan.

Mereka tersadar ketika jarum jam nyaris menyentuh angka 24.00. Jam malam telah terlewati. Kedua insan yang tengah mabuk asmara ini menghentikan aksinya yang dapat memusingkan malam.

"Ude malem say. Abang pulang dulu ye," suara Odon tercekat keterpaksaan.

"Iye deh Bang. Hati-hati ye," Odon mendengar suara pacaranya yang terputus-putus. Sambil saling meremas tangan, mereka tak bisa melakukan banyak hal.
Odon pamit pada camer-nya. Setelah itu kepada pacarnya. "Entar es-em-es aye ye bang," kata pacarnya dengan suara manja.

"Iye deh," Odon mengangguk lesu. Jam malam telah dilanggarnya.

Odon bergerak dari rumah sang pacar dengan mempercepat langkahnya. Kemeja Odon pun melambai-lambai oleh tarian angin malam. Keringatnya mulai diganti rasa dingin.

"Hei brenti!!" teriak seorang peronda mengejar Odon.

"Siape lu?!" Suara itu memburu. Odon ciut. Sepasang tangan mencengkram kemejanya.
"Busyet lu ye."
"Lu mau maling ya?!"
"Kagak Bang. Kagak," Odon ketakutan hampir menangis.

Seorang pemuda lain muncul dari seberang Odon, berdiri dan menghampiri. Sambil berteriak-teriak, "Kolor Ijo! Kolor Ijo!"

"Ape? Lu Kolor Ijo?" sekepal tinju mendarat mulus di pipi Odon. Dunia berputar. Odon terjerembab ke jalanan.

"Ah, bawa dia ke pos!"

Odon diseret, sendalnya copot ketinggalan. Di Pos Hansip, peronda yang lain sudah menunggu. Odon didudukkan di sebuah bangku. "Hayo, ngaku lu. Gue gibeng lu!"

"Enggak, Bang. Bukan. Saya bukan mau maling Bang…" kata Odon mulai menangis.

"Ah sialan lu!” Kata seseorang memaki. "Lu Kolor Ijo ‘kan?!"
"Buka aje celananye. Telanjangi die…"

Odon bingung. Pertanyaan seperti batu yang dilemparkan ke kaca akuarium berisi lou han. Tangan-tangan mulai menyentuh pakaian rapinya. "Ampun Pak. Ampun Pak," kata Odon, tangisnya membesar.

"Aye Odon. Aye Odon." Namun para peronda tak mendengar penjelasannya.

"Ah, dasar Kolor Ijo lu!"
"Diem Lu!"
adalagi, "Bangsat lu."

"Kolor Ijo ketangkep, Kolor Ijo ketangkep! Kali ini Kolor Ijo yang asli…" seorang peronda melaporkan kejadian itu pada pak RT kami.

"Kolor Ijo ketangkep? Coba dichek lagi" Pak RT menyiapkan pakaianya.

"Lets go, kita ke pos" katanya pada peronda yang melapor.

Di Pos Hansip, Odon semakin pucat pasi. Kulitnya yang gelap terlihat lebih cerah. Seluruh senter mengarah ke tubuhnya. Semua peronda tertegun tak percaya.

Pak RT tiba di sana. Tanpa ba-bi-bu langsung menghampiri sesosok mahluk yang hampir bugil. Pak RT mengarahkan senternya ke arah penutup satu-satunya yang tertinggal di tubuh Odon. Pak RT terdiam. Odon semakin meraung.

"Saya Odon Pak. Odon…" teriaknya. Lalu meraung-raung seperti bayi. "Saya Odon anak RT sebelah Pak!" teriak Odon menghiba. Semuanya yang hadir seperti tersirep ilmu hitam. Tak bisa bergerak. Semua melongo. Semua menatap kolor Odon. Yah, kolor Odon ternyata berwarna hijau.

VII
Sulit diceritakan apa yang sebenarnya terjadi di sana pada saat itu. Yang pasti kini ada pamflet baru di setiap pojok RT. Isinya apa lagi kalau bukan pengumuman:

--DILARANG PAKAI KOLOR WARNA HIJAU!--

Ternyata pamflet itu ampuh. Kolor Ijo kini menjauh, menghindar ke arah kota. Kolor Ijo merayap mendekati Istana Negara…..


http://www.rmol.co/read/2012/06/30/69164/Rumah-Kaca:-Kolor-Ijo-#.T-7W2CNbQyp.facebook

No comments:

Post a Comment